Pendahuluan
Maluku adalah salah satu provinsi yang terdapat dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Di sana ada sebuah etnik yang bernama Nuaulu.
Stratifikasi sosial masyarakatnya pada dasarnya dapat dibedakan menjadi
tiga golongan, yakni golongan pemimpin soa (kapitang), tokoh adat dan
rakyat biasa. Golongan kapitang terdiri atas orang-orang yang secara
genealogis masih keturunan pendiri soa. Golongan tokoh adat terdiri atas
orang-orang yang masih keturunan tokoh adat. Sedangkan, golongan rakyat
biasa adalah orang-orang yang secara genealogis bukan keturunan pendiri
soa dan tokoh adat. Mereka (masyarakat Nuaulu) menumbuh-kembangkan
suatu tradisi yang disebut sebagai Tihi Huau. Tradisi ini sangat erat
kaitannya dengan kepercayaan yang diyakininya. Menurut mereka, seorang
anak, baik laki-laki maupun perempuan, mudah disusupi atau dipengaruhi
oleh roh jahat. Untuk itu, perlu diadakan suatu upacara agar anak
terhindar dari pengaruh tersebut. Selain itu, yang tidak kalah
pentingnya adalah agar sifat-sifat buruk (jahat) orang tuanya tidak
menurun kepada anak, sehingga di kemudian hari anak dapat melaksanakan
peran-sosialnya dengan baik (mematuhi aturan-aturan, norma-norma dan
nilai-nilai yang ada dalam masyarakatnya). Pemutusan pengaruh jahat itu
disimbolkan dengan pemotongan rambut karena rambut, menurut kepercayaan
mereka, merupakan bagian dari tubuh manusia yang berdaya magis*).
Mengingat bahwa upacara tihi huau ada kaitannya dengan kepercayaan,
khususnya kepercayaan kepada makluk halus (roh jahat), maka upacara ini
hanya dilakukan pada pagi atau sore hari. Artinya, tidak boleh dilakukan
pada saat matahari terbenam (malam hari). Sebab, malam hari adalah
saatnya roh-roh jahat bergentayangan. Roh-roh ini dapat menyusup ke anak
yang diupacarai, sehingga bisa terjadi sesuatu yang tidak diinginkan
(buruk) pada anak yang bersangkutan.
Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam upacara ini adalah: (1) bulu sero, yaitu
sebuah alat cukur yang terbuat dari belahan bambu; (2) sisir yang
terbuat dari sabut kelapa; (3) sebuah tempat duduk (kursi); dan (4)
seruas bambu yang pada gilirannya akan dijadikan sebagai tempat
penyimpanan rambut yang dipotong. Selain peralatan, ada kelengkapan yang
berupa makanan dan minuman, seperti: pisang, air putih dan atau teh dan
beberapa jenis makanan yang terbuat dari sagu (tutupola, alu-alu, sagu
tumbu, dan papeda).
Jalannya Upacara
Upacara ini diawali dengan pendudukkan anak yang akan dipotong rambutnya
pada sebuah kursi yang telah disediakan, diikuti oleh kerabatnya dalam
posisi membentuk lingkaran (mengelilinginya). Kemudian, momo kanate
(sebutan untuk kepala soa yang bertindak sebagai pemimpin upacara)
menghampirinya, membaca doa (dalam hati) dan memotong sebagian rambut
anak yang diupacarai dengan alat yang disebut bulu sero. Jadi, bukan
alat cukur yang terbuat dari logam, karena menurut kepercayaan
masyarakat Nuaulu, alat cukur logam mengandung kekuatan-kekuatan sakti
yang dapat membahayakan diri anak (kekuatan sakti yang sifatnya
destruktif). Ketika pencukuran berlangsung pihak kerabat tidak hanya
diam tetapi juga memanjatkan doa kepada Upu Kuanahatana dan roh nenek
moyang agar selamat.
Sebagai catatan, bagian rambut yang dicukur oleh momo kanate disesuaikan
dengan status sosial dari keluarga penyelenggara upacara. Apabila yang
diupacarakan adalah anak seorang kapitang, maka rambut yang berada di
bagian depan kepala tidak boleh dicukur. Apabila anak seorang tokoh
adat, maka rambut yang berada pada bagian tengah kepala
(bubungan/ubun-ubun) tidak boleh dicukur. Sedangkan apabila anak rakyat
biasa, maka rambut pada bagian belakang kepalanya tidak boleh dicukur.
Dengan demikian, rambut yang dibiarkan (tidak dicukur) sekaligus
merupakan tanda pengenal bagi masyarakat. Dengan melihat letak rambut
pada bagian kepala anak tersebut orang dapat mengetahui dari kalangan
masyarakat manakah anak itu berasal.
Sebagai catatan pula bahwa kepala soa (momo kanate) yang bertindak
sebagai pemimpin upacara adalah yang berasal dari soa yang sama dengan
ayah si anak yang diupacarai. Soa adalah suatu kesatuan masyarakat yang
berdasarkan genealogis teritorial. Orang Nuaulu yang tinggal di daerah
Amahi mempunyai 11 soa yang tergabung dalam 4 negeri (desa). Momo kanate
merupakan orang yang dipercaya untuk memimpin dan melaksanakan upacara
tihi huau karena merupakan lambang kehormatan dari soa. Dia merupakan
tokoh yang dihormati dan disegani serta dianggap memiliki
kharisma-kharisma dan mempunyai kekuatan-kekuatan sakti yang dapat
mengalahkan pengaruh roh-roh jahat. Pencukuran rambut oleh tokoh ini
merupakan suatu perwujudan rasa hormat masyarakat terhadap pemimpin
soa-nya. Selain momo kanate, pihak-pihak yang juga terlibat dalam
kegiatan upacara ini adalah anggota-anggota kelompok kerabat dari pihak
ayah maupun ibu dari anak yang diupacarakan.
Setelah pencukuran pada bagian tertentu (bergantung pada status
sosialnya) selesai, maka langkah selanjutnya adalah penyisiran rambut
dengan sabut kepala oleh momo kanate. Selanjutnya, kepala dibersihkan
dengan air yang telah dimanterai oleh momo kanate. Penyiraman ini
sekaligus merupakan simbol bahwa anak telah bebas dari pengaruh
pembawaan buruk dari orang tuanya ataupun pengaruh roh jahat.
Rambut dari anak yang telah diupacarakan oleh momo kanate diambil
sebagian, kemudian dimasukkan ke dalam ruas bambu yang telah
dipersiapkan. Setiap ruas bambu dari setiap individu diberi tanda
pengenal khusus untuk mencegah kekeliruan dalam pengambilannya. Ruas
bambu itu kemudian ditempatkan di dalam numaonate atau rumah soa sebagai
data jiwa. Jadi, bila di dalam sebuah numanoate terdapat 650 ruas
bambu, berarti jumlah penduduk negeri (desa) yang bersangkutan adalah
650 jiwa. Agar tidak terjadi kekeliruan dalam jumlah jiwa, maka jika
pemiliknya meninggal, ruas bambu yang berisi rambutnya pun ikut
dikuburkan.
Acara selanjutnya adalah santap bersama. Untuk itu, tuan rumah
(penyelenggara upacara) mempersilahkan semua undangan mencicipi hidangan
yang telah disediakan di dalam rumahnya. Santap bersama yang merupakan
penutup dari rangkaian upacara ini sekaligus merupakan ungkapan terima
kasih kepada Upu Kuanahatana dan roh-roh para leluhur karena upacara
berjalan lancar.
Sebagai catatan, hidangan yang disediakan adalah makanan sehari-hari
yang biasa disantap oleh seluruh lapisan masyarakat Nuaulu. Dengan
demikian, orang dari lapisan atau golongan sosial mana pun dapat
melaksanakan upacara ini.
Nilai Budaya
Nilai budaya yang terkandung dalam upacara yang disebut Tihi Huau
adalah: kebersamaan, ketelitian, dan keselamatan. Nilai kebersamaan
tercermin dari berkumpulnya para anggota kelompok kerabat untuk berdoa
bersama demi keselamatan anak yang diupacarai dan sekaligus sebagai
sarana untuk mempererat kebersamaan antarkelompok kekerabatan dalam
sebuah negeri (desa).
Nilai ketelitian tercermin dari proses upacara itu sendiri. Sebagai
suatu proses, upacara memerlukan persiapan, baik sebelum upacara, pada
saat prosesi, maupun sesudahnya. Persiapan-persiapan itu, tidak hanya
menyangkut peralatan upacara, tetapi juga tempat, waktu, pemimpin, dan
peserta. Semuanya itu harus dipersiapkan dengan baik dan seksama,
sehingga upacara dapat berjalan dengan lancar. Untuk itu, dibutuhkan
ketelitian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar