Masyarakat kampong
Tablanusu, Distrik Depapre yang tinggal di pantai Utara Kabupaten
Jayapura sejak nenek moyang sudah mengenal tradisi Tiyatiki.
Menurut
Dr JR Mansoben MA antropolog dan juga dosen FISIP Universitas
Cenderawasih Jayapura kearifan tradisonal tiyatikii merupakan bentuk dan
model kearifan budaya local di Papua dalam pengelolaan sumber daya laut
secara berkelanjutan.
Tiyatiki
sampai saat ini masih dilakukan oleh suku Tepera Distrik Depapre
Kabupaten jayapura. Begitupula upacara sasi sen pada masyarakat adat
Biak Numfor, igyar ser hanjop pada masyarakat adapt Arfak danjuga Etsin
pada masyarakat adapt Kawera di kawasan Mamberamo.
Tradisi ini atau upacara Tiyatiki ini adalah sasi atau pelarangan selama beberapa waktu untuk menangkap ikan dan kebiasaan untuk menjaga serta melestarikan laut.
Upacara
Tiyatiki ini biasanya dilakukan menjelang matahari terbit pukul enam
pagi. Acara tersebut dilakukan di rumah Paitua (Bapak) Ananias Soumilena
(mantan kepala kampong) dan secara adat wilayah kampong tua (Bitoyo)
dikuasasi oleh klen Soumilena. Malam hari sebelum pelaksanaan Tiyatiki
mama-mama sibuk menyiapkan makanan dan minum bagi bapak dan sekaligus
sebagai bekal di lokasi pelarangan.
Pembukaan kayu tanda pelarangan yang ditancapkan pada ujung karang laut dengan jarak sekitar 50 meter dari bibir pantai.
Jarak antara satu kayu dengan kayu lainnya antara 50 meter dan 150
meter. Biasanya upacara pencabutan tanda pelarangan dilaksanakan sebelum
hari penancapan kayu.
Misalnya
penancapan dilakukan pada tanggal 8 Agustus maka pencabutan kayu
pelarangan tanggal 6 Agustus. Biasanya waktu pelarangan ini berlaku
selama satu tahun.
Jika
diamati ada terdapat beberapa pentahapan dalam pelaksanaan upacara
Tiyatiki antara lain (1) tahap perencanaan (2) tahap pelaksanaan (3)
tahap upacara pembukaan dan pentupan.
Perencanaan
Tiyatiki terjadi karena sebuah peristiwa yang dialami masyarakat
setempat suku Tepera Kampung Tablanusu. Misalnya ada ondoafi atau kepala
suku/keret meninggal dunia, akan dilantiknya ondoafi atau kepala suku,
peresmian rumah baru dan meninggalnya seorang warga kampung yang
tenggelam di laut. Aturan
lain tentang Tiyatiki adalah menentukan batas wilayah laut. Mereka
membagi wilayah laut meliputi daerah pinggir laut disebut borotu daerah
tangkapan ikan di pinggir pantai atau daerah batas pantai dan batas air
surut. Di daerah ini dikuasasi oleh keret tertentu yang ditetapkan sejak
nenek moyang mereka. Hanya keret tertentu yang diperkenankan memasuki
dan mengambil serta memanfaatkan daerah ini. Selain itu ada wilayah
pelarangan tangkap ikan karena diberlakukan sasi atau penutupan daerah
penangkapan (Tiyatiki). Oleh karena itu masyarakat lain atau keret lain
dilarang memasuki atau memanfaatkan daerah ini. Jika ada keret lain yang
hendak menangkap di wilayah itu harus seijin keret pemilik. Daerah
akatu merupakan daerah terumbu karang pada laut dalam pada batas air
surut hingga ke tubir-tubir karang atau daerah tebing-tebing karang.
Wilayah ini pun dikuasai oleh keret keret tertentu untuk memasuki dan
memanfaatkannya. Di lokasi akatu juga diberlakukan Tiyatiki atau
pelarangan menangkap ikan. Daerah kota adalah daerah laut dalam sesuai
batas kampong. Daerah ini dimiliki dan dikuasai oleh masyarakat kampong
tersebut. Usaha penangkapan ikan dari pihak luar dilarang dan tidak
diberi ijin memanfaatkannya. Wilayah beta meliputi daerah laut bebas
atau biru. Wilayah ini boleh dimanfaatkan oleh berbagai pihak dan tidak
ada pelarangan bagi orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar