Senin, 30 April 2012

Upacara Tiyatiki Model Konservasi Tradisional Papua

Masyarakat  kampong Tablanusu, Distrik Depapre yang tinggal di pantai Utara Kabupaten Jayapura sejak nenek moyang sudah mengenal tradisi Tiyatiki.
Menurut Dr JR Mansoben MA antropolog dan juga dosen FISIP Universitas Cenderawasih Jayapura kearifan tradisonal tiyatikii merupakan bentuk dan model kearifan budaya local di Papua dalam pengelolaan sumber daya laut secara berkelanjutan.
Tiyatiki sampai saat ini masih dilakukan oleh suku Tepera Distrik Depapre Kabupaten jayapura. Begitupula upacara sasi sen pada masyarakat adat Biak Numfor, igyar ser hanjop pada masyarakat adapt Arfak danjuga Etsin pada masyarakat adapt Kawera di kawasan Mamberamo.


Tradisi ini atau upacara Tiyatiki ini  adalah sasi atau pelarangan selama beberapa waktu untuk menangkap ikan dan  kebiasaan untuk menjaga serta melestarikan laut.

Upacara Tiyatiki ini biasanya dilakukan menjelang matahari terbit pukul enam pagi. Acara tersebut dilakukan di rumah Paitua (Bapak) Ananias Soumilena (mantan kepala kampong) dan secara adat wilayah kampong tua (Bitoyo) dikuasasi oleh klen Soumilena. Malam hari sebelum pelaksanaan Tiyatiki mama-mama sibuk menyiapkan makanan dan minum bagi bapak dan sekaligus sebagai bekal di lokasi pelarangan.

Pembukaan kayu tanda pelarangan yang ditancapkan pada ujung karang laut dengan jarak sekitar 50 meter dari bibir  pantai. Jarak antara satu kayu dengan kayu lainnya antara 50 meter dan 150 meter. Biasanya upacara pencabutan tanda pelarangan dilaksanakan sebelum hari penancapan kayu.

Misalnya penancapan dilakukan pada tanggal 8 Agustus maka pencabutan kayu pelarangan tanggal 6 Agustus. Biasanya waktu pelarangan ini berlaku selama satu tahun.
Jika diamati ada terdapat beberapa pentahapan dalam pelaksanaan upacara Tiyatiki antara lain (1) tahap perencanaan (2) tahap pelaksanaan (3) tahap upacara pembukaan dan pentupan.
Perencanaan Tiyatiki terjadi karena sebuah peristiwa yang dialami masyarakat setempat suku Tepera Kampung Tablanusu. Misalnya ada ondoafi atau kepala suku/keret meninggal dunia, akan dilantiknya ondoafi atau kepala suku, peresmian rumah baru dan meninggalnya seorang warga kampung yang tenggelam di laut. Aturan lain tentang Tiyatiki adalah menentukan batas wilayah laut. Mereka membagi wilayah laut meliputi daerah pinggir laut disebut borotu daerah tangkapan ikan di pinggir pantai atau daerah batas pantai dan batas air surut. Di daerah ini dikuasasi oleh keret tertentu yang ditetapkan sejak nenek moyang mereka. Hanya keret tertentu yang diperkenankan memasuki dan mengambil serta memanfaatkan daerah ini. Selain itu ada wilayah pelarangan tangkap ikan karena diberlakukan sasi atau penutupan daerah penangkapan (Tiyatiki). Oleh karena itu masyarakat lain atau keret lain dilarang memasuki atau memanfaatkan daerah ini. Jika ada keret lain yang hendak menangkap di wilayah itu harus seijin keret pemilik. Daerah akatu merupakan daerah terumbu karang pada laut dalam pada batas air surut hingga ke tubir-tubir karang atau daerah tebing-tebing karang. Wilayah ini pun dikuasai oleh keret keret tertentu untuk memasuki dan memanfaatkannya. Di lokasi akatu juga diberlakukan Tiyatiki atau pelarangan menangkap ikan. Daerah kota adalah daerah laut dalam sesuai batas kampong. Daerah ini dimiliki dan dikuasai oleh masyarakat kampong tersebut. Usaha penangkapan ikan dari pihak luar dilarang dan tidak diberi ijin memanfaatkannya. Wilayah beta meliputi daerah laut bebas atau biru. Wilayah ini boleh dimanfaatkan oleh berbagai pihak dan tidak ada pelarangan bagi orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar