Candi Sukuh terletak di Kabupaten Karanganyar, eks Karisidenan Surakarta, Jawa Tengah. Candi ini dikategorikan sebagai candi Hindu karena ditemukannya obyek pujaan lingga dan yoni. Candi ini digolongkan kontroversial karena bentuknya yang kurang lazim dan karena banyaknya obyek-obyek lingga dan yoni yang melambangkan seksualitas.
Candi
Sukuh merupakan candi yang berlatar belakang agama Hindu. Berdasarkan
prasasti yang ada di sekitar candi, Candi Sukuh didirikan antara tahun
1359 - 1378 Saka atau tahun 1437 - 1456 Masehi (sekitar abad XV).
Meskipun berlatar belakang agama Hindu, bentuk bangunan candi cenderung
kembali ke bentuk bangunan pada jaman pra sejarah yaitu struktur Punden
Berundak.
Sejarah singkat penemuan
Situs
candi Sukuh ditemukan kembali pada masa pemerintahan Britania Raya di
tanah Jawa pada tahun 1615 oleh Johnson, Residen Surakarta. Johnson kala
itu ditugasi oleh Thomas Stanford Raffles untuk mengumpulkan data-data
guna menulis bukunya The History of Java. Kemudian setelah masa
pemerintahan Britania Raya berlalu, pada tahun 1842, Van der Vlis, yang
berwarganegara Belanda melakukan penelitian. Lalu pada tahun 1928,
pemugaran dimulai.
Lokasi candi Sukuh
terletak di lereng kaki Gunung Lawu pada ketinggian kurang lebih 1.186
meter di atas permukaan laut pada koordinat 07o37, 38’ 85’’ Lintang
Selatan dan 111o07,. 52’65’’ Bujur Barat. Candi ini terletak di dukuh
Berjo, desa Sukuh, kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, eks
Karisidenan Surakarta, Jawa Tengah. Candi ini berjarak kurang lebih 20
kilometer dari kota Karanganyar dan 36 kilometer dari Surakarta. Kurang
lebih 4 kilometer mendaki gunung Lawu lagi, terdapat situs Candi Cetho.
Yang
membuat Candi Sukuh menarik adalah bentuk candi, arca dan lukisan
relief yang sungguh unik dan berbeda dengan candi lainnya. Candi ini
dipenuhi arca dan relief yang menggambarkan perwujudan kelamin lelaki
dan perempuan secara gamblang, telanjang dan naturalis. Hal inilah yang
memicu timbulnya julukan "The Most Exotic Temple in The World" bagi
Candi Sukuh. Tak jarang mereka melontarkan tuduhan sebagai candi porno
yang mengajarkan pendidikan seks secara vulgar.
Relief Candi Sukuh
dibawah
akan dibahas lebih lanjut mengenai bentuk ini. Kesan kesederhanaan ini
menarik perhatian arkeolog termashyur Belanda WF Stutterheim pada tahun
1930. Beliau lalu mencoba menjelaskannya dengan memberikan tiga argumen:
- kemungkinan pemahat candi Sukuh bukan seorang tukang batu melainkan tukang kayu dari desa dan bukan dari kalangan keratin
- Candi dibuat dengan agak tergesa-gesa sehingga kurang rapi
- Keadaan politik kala itu dengan menjelang keruntuhannya Majapahit karena didesak oleh pasukan Islam Demak tidak memungkinkan untuk membuat candi yang besar dan megah.Para pengunjung yang memasuki pintu utama lalu memasuki gapura terbesar akan melihat bentuk arsitektur khas bahwa ini tidak disusun tegak lurus namun agak miring, berbentuk trapesium dengan atap di atasnya. Batu-batuan di candi ini berwarna agak kemerahan, sebab batu-batu yang dipakai adalah jenis andesit.
Teras pertama candi
Pada
teras pertama terdapat gapura utama. Pada gapura ini ada sebuah
sangkala dalam bahasa Jawa yang berbunyi gapura buta abara wong. Artinya
dalam bahasa Indonesia adalah “Gapura sang raksasa memangsa manusia”.
Kata-kata ini memiliki makna 9, 5, 3, dan 1. Jika dibalik maka
didapatkan tahun 1359 Saka atau tahun 1437 Masehi.Gapura
pada teras kedua sudah rusak. Di kanan dan kiri gapura yang biasanya
terdapat patung penjaga pintu atau dwarapala, didapati pula, namun dalam
keadaan rusak dan sudah tidak jelas bentuknya lagi. Gapura sudah tidak
beratap dan pada teras ini tidak dijumpai banyak patung-patung. Namun
pada gapura ini terdapat sebuah candrasangkala pula dalam bahasa Jawa
yang berbunyi gajah wiku anahut buntut. Artinya dalam bahasa Indonesia
adalah “Gajah pendeta menggigit ekor”. Kata-kata ini memiliki makna 8,
7, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1378 Saka atau tahun
1456 Masehi. Jadi jika bilangan ini benar, maka ada selisih hampir
duapuluh tahun dengan gapura di teras pertama!
Pada teras ketiga ini terdapat pelataran besar dengan candi induk dan beberapa relief di sebelah kiri serta patung-patung di sebelah kanan. Jika para pengunjung ingin mendatangi candi induk yang suci ini, maka batuan berundak yang relatif lebih tinggi daripada batu berundak sebelumnya harus dilalui. Selain itu lorongnya juga sempit. Konon arsitektur ini sengaja dibuat demikian. Sebab candi induk yang mirip dengan bentuk vagina ini, menurut beberapa pakar memang dibuat untuk mengetes keperawanan para gadis. Menurut cerita, jika seorang gadis yang masih perawan mendakinya, maka selaput daranya akan robek dan berdarah. Namun apabila ia tidak perawan lagi, maka ketika melangkahi batu undak ini, kain yang dipakainya akan robek dan terlepas.
Pada teras ketiga ini terdapat pelataran besar dengan candi induk dan beberapa relief di sebelah kiri serta patung-patung di sebelah kanan. Jika para pengunjung ingin mendatangi candi induk yang suci ini, maka batuan berundak yang relatif lebih tinggi daripada batu berundak sebelumnya harus dilalui. Selain itu lorongnya juga sempit. Konon arsitektur ini sengaja dibuat demikian. Sebab candi induk yang mirip dengan bentuk vagina ini, menurut beberapa pakar memang dibuat untuk mengetes keperawanan para gadis. Menurut cerita, jika seorang gadis yang masih perawan mendakinya, maka selaput daranya akan robek dan berdarah. Namun apabila ia tidak perawan lagi, maka ketika melangkahi batu undak ini, kain yang dipakainya akan robek dan terlepas.
Tepat
di atas candi utama di bagian tengah terdapat sebuah bujur sangkar yang
kelihatannya merupakan tempat menaruh sesajian. Di sini terdapat
bekas-bekas Kemenyan, dupa dan hio yang dibakar, sehingga terlihat
masing sering dipergunakan untuk bersembahyang. Kemudian pada bagian
kiri candi induk terdapat serangkaian relief-relief yang merupakan
mitologi utama Candi Sukuh dan telah diidentifikasi sebagai relief
cerita kidung sudamala. Urutan reliefnya adalah sebagai berikut.
Relief pertama.
Di
bagian kiri dilukiskan sang Sahadewa atau Sadewa, saudara kembar Nakula
dan merupakan yang termuda dari para Pandawa Lima. Kedua-duanya adalah
putra Prabu Pandu dari Dewi Madrim, istrinya yang kedua. Madrim
meninggal dunia ketika Nakula dan Sadewa masih kecil dan keduanya diasuh
oleh Dewi Kunti, istri utama Pandu. Dewi Kunti lalu mengasuh mereka
bersama ketiga anaknya dari Pandu: Yudhistira, Bima dan Arjuna. Relief
ini menggambarkan Sadewa yang sedang berjongkok dan diikuti oleh seorang
punakawan atau pengiring. Berhadapan dengan Sadewa terlihatlah seorang
tokoh wanita yaitu Dewi Durga yang juga disertai seorang punakawan.
kisah
Sudamala. Bagian penting dari relief ini adalah kisah Batari Uma
dikutuk Batara Guru menjadi Durga yang berparas jelek. Sadewa bungsu
dari pandawa anak Pandu dan Madrim diikat pada sebuah pohon dikorbankan
sebagai tumbal untuk Durga. Pada kisah ini Sadewa berhasil meruwat
dengan bantuan Batara Guru dan membebaskan Durga dari kutukan dan
kembali kewajah aslinya sebagai seorang bidadari. Pembebasan Batari Uma
dari kutukan yang dilakukan Sadewa dengan meruwat yang tergambar pada
pahatan kiranya merupakan inti keyakinan masyarakat pembangun candi.
Apakah ada hubungan dengan keadaan sosial politik pada masa itu? Di
bagian akhir tulisan akan kita tarik benang merah keterkaitannya.Relief kedua.
Pada relief kedua ini dipahat gambar Dewi Durga yang telah berubah menjadi seorang raksasi (raksasa wanita) yang berwajah mengerikan. Dua orang raksasa mengerikan; Kalantaka dan Kalañjaya menyertai Batari Durga yang sedang murka dan mengancam akan membunuh Sadewa.
Pada relief kedua ini dipahat gambar Dewi Durga yang telah berubah menjadi seorang raksasi (raksasa wanita) yang berwajah mengerikan. Dua orang raksasa mengerikan; Kalantaka dan Kalañjaya menyertai Batari Durga yang sedang murka dan mengancam akan membunuh Sadewa.
Kalantaka
dan Kalañjaya adalah jelmaan bidadara yang dikutuk karena tidak
menghormati Dewa sehingga harus terlahir sebagai raksasa berwajah buruk.
Sadewa terikat pada sebuah pohon dan diancam dibunuh dengan pedang
karena tidak mau membebaskan Durga. Di belakangnya terlihat antara lain
ada Semar. Terlihat wujud hantu yang melayang-layang dan di atas pohon
sebelah kanan ada dua ekor burung hantu. Lukisan mengerikan ini
kelihatannya ini merupakan lukisan di hutan Setra Gandamayu (Gandamayit)
tempat pembuangan para dewa yang diusir dari sorga karena pelanggaran.Relief ketiga.
ada
bagian ini digambarkan bagaimana Sadewa bersama punakawannya, Semar
berhadapan dengan pertapa buta bernama Tambrapetra dan putrinya Ni
Padapa di pertapaan Prangalas. Sadewa akan menyembuhkannya dari
kebutaannya.
Relief keempat
Relief keempat
Adegan
di sebuah taman indah di mana sang Sadewa sedang bercengkerama dengan
Tambrapetra dan putrinya Ni Padapa serta seorang punakawan di pertapaan
Prangalas. Tambrapetra berterima kasih dan memberikan putrinya kepada
Sadewa untuk dinikahinya.Relief kelima
Lukisan
ini merupakan adegan adu kekuatan antara Bima dan kedua raksasa
Kalantaka dan Kalañjaya. Bima dengan kekuatannya yang luar biasa sedang
mengangkat kedua raksasa tersebut untuk dibunuh dengan kuku
pañcanakanya.Patung Garuda
Lalu
pada bagian kanan terdapat dua buah patung Garuda yang merupakan bagian
dari cerita pencarian tirta amerta (air kehidupan) yang terdapat dalam
kitab adiparwa, kitab pertama Mahabrata. Pada bagian ekor sang Garuda
terdapat sebuah prasasti. Kemudian sebagai bagian dari kisah pencarian
amerta tersebut di bagian ini terdapat pula tiga patung kura-kura yang
melambangkan bumi dan penjelmaan Dewa Wisnu. Bentuk kura-kura ini
menyerupai meja dan ada kemungkinan memang didesain sebagai tempat
menaruh sesajian. Sebuah piramida yang puncaknya terpotong melambangkan
Gunung Mandaragiri yang diambil puncaknya untuk mengaduk-aduk lautan
mencari tirta amerta.
Arca Celeng ( Babi)
Selain
candi utama dan patung-patung kura-kura, garuda serta relief-relief,
masih ditemukan pula beberapa patung hewan berbentuk celeng (babi hutan)
dan gajah berpelana. Pada zaman dahulu para ksatria dan kaum bangsawan
berwahana gajah.
Lalu ada pula bangunan berelief tapal kuda dengan
dua sosok manusia di dalamnya, di sebelah kira dan kanan yang berhadapan
satu sama lain. Ada yang berpendapat bahwa relief ini melambangkan
rahim seorang wanita dan sosok sebelah kiri melambangkan kejahatan dan
sosok sebelah kanan melambangkan kebajikan. Namun hal ini belum begitu
jelas. Kemudian ada sebuah bangunan kecil di depan candi utama yang
disebut candi pewara. Di bagian tengahnya, bangunan ini berlubang dan
terdapat patung kecil tanpa kepala. Patung ini oleh beberapa kalangan
masih dikeramatkan sebab seringkali diberi sesajian.
Erotisme Sebuah Candi
Proses
penciptaan pastilah manusia mempunyai konteks dengan apa yang kita
sebut sebagai hubungan badani atau hubungan seks yang sudah ada sejak
awal manusia diciptakan. Namun jarang sekali, di zaman semua itu
dianggap tabu, hal ini dibicarakan secara terbuka. Sebuah candi dari
zaman Majapahit, di kaki gunung Lawu, ternyata berani bercerita secara
terbuka tentang erotisme ini. Candi Sukuh begitulah namanya, sebuah
candi kuno yang bentuknya cukup artistik dengan candi-candi lainnya.
Banyak cerita relief yang diperkirakan oleh para peneliti sezaman dengan
Kerajaan majapahit. Bentuk bangunan Candi Sukuh agak berbeda dengan
candi-candi lainnya. Sekilas rupa menyerupai bentuk piramida di Mesir
Perawan
dan Jejaka Wajib Melangkahi Relief Dari kejauhan Candi Sukuh telah
tampak karena letaknya di atas puncak bukit. Begitu kita mulai memasuki
areal kawasan candi, pintu gerbang yang paling depan seakan-akan
mengawasi seluruh lereng gerbang (samping teras teratas) dan anda akan
tahu bahwa julukan "Candi Porno" terhadap candi ini bukanlah sensasi
semata
Di
halaman teras teratas terletak bangunan candi. Candi ini sangatlah
istimewa. Bentuknya berteras-teras seperti piramida. Hanya puncaknya
saja yang datar. Mungkin di puncak ini dahulu ada bangunan dari kayu
yang sekarang sudah musnah. Teras-teras ini sungguh istimewa bentuknya
karena candi-candi lain tidaklah demikian dan biasanya candi mempunyai
bagian dasar yang bertangga. Bentuk piramida berteras ini bukanlah gaya
bangunan Hindu melainkan gaya Indonesia asli. Seperti kebudayaan
penduduk Kepulauan Polynesia pun mempunyai adat tempat untuk pemujaan
seperti ini. Bila dibandingkan dengan bentuk nisan-nisan kuno di Jawa,
sering adapula yang berbentuk piramida berteras. Bentuk piramida ini
biasanya digunakan untuk memuja para arwah leluhur.
Lingga
Relief
yang ada di Candi Sukuh seluruhnya mengesankan erotisme. Ada patung
seorang lelaki yang memegang tanda jenis (alat kelamin), gajah, dan
binatang-binatang lainnya dengan alat kelamin yang serba menonjol. Tentu
saja maksudnya bukan untuk merangsang pengunjung, melainkan lambang
misteri proses penciptaan. Tapi sangat disayangkan tangan-tangan usil
sering kali memberikan komentar-komentar gaya modern pada relief-relief
ini dengan berbagai tulisan kotor tanpa mengetahui maknanya. Lingga dan
yoni adalah representasi dari alat kelamin laki-laki dan perempuan.
Sering pula disepakati sebagai lambang kesuburan. Letaknya persis di
pintu masuk ini dan begitu nyatanya membuat masyarakat sering
menyebutnya sebagai candi tabu. Padahal, bisa jadi menurut budaya Jawa
yang sarat akan lambang, penempatan lingga dan yoni itu sebagai pengusir
bala bagi yang ingin masuk ke dalam candi.
Menurut kepercayaan masyarakat setempat, lingga dan yoni di gapura dulunya sering dijadikan sarana untuk menguji kesucian perempuan dengan melangkahi simbol itu. Jika kain kebaya yang digunakannya robek berarti perempuan itu menjaga kesuciannya, namun jika kain kebayanya terlepas, maka perempuan itu dipercayai telah kehilangan kesuciannya. Mengenai julukan erotis, selain perlambangan lingga dan yoni di pagar, juga nampak pada relief-relief yang tersisa. Tapi sepertinya sudah tak banyak lagi. Mungkin karena terlalu vulgar, makanya relief itu tak ada lagi.
Lintasan sejarah
Walaupun tempatnya di Jawa Tengah tetapi Candi Sukuh sangat berbeda dengan candi-candi Prambanan, Sewu, Plaosan dan lain-lain dari sekitar abad 8--10. Susunan halaman, arca-arca, gaya pahatan, bahkan seluruh konsepsinya sangat berbeda.
Dwarapala
Menurut kepercayaan masyarakat setempat, lingga dan yoni di gapura dulunya sering dijadikan sarana untuk menguji kesucian perempuan dengan melangkahi simbol itu. Jika kain kebaya yang digunakannya robek berarti perempuan itu menjaga kesuciannya, namun jika kain kebayanya terlepas, maka perempuan itu dipercayai telah kehilangan kesuciannya. Mengenai julukan erotis, selain perlambangan lingga dan yoni di pagar, juga nampak pada relief-relief yang tersisa. Tapi sepertinya sudah tak banyak lagi. Mungkin karena terlalu vulgar, makanya relief itu tak ada lagi.
Lintasan sejarah
Walaupun tempatnya di Jawa Tengah tetapi Candi Sukuh sangat berbeda dengan candi-candi Prambanan, Sewu, Plaosan dan lain-lain dari sekitar abad 8--10. Susunan halaman, arca-arca, gaya pahatan, bahkan seluruh konsepsinya sangat berbeda.
Dwarapala
Arca
Dewa Trimurti atau Bhuda tidak kita temukan di Candi Sukuh, tetapi yang
kita temukan lingga (phalllus), arca Bima (sekarang di Solo), Garuda,
arca laki-laki telanjang gaya megalitik, bahkan bentuk pertemuan alat
kelamin pria dan wanita, ini menunjukkan gejala munculnya kembali
tradisi pemujaan phallisme. Bentuk percandian yang menyerupai punden
berundak dan salah satu candinya dipandang sebagai kediaman cikal-bakal
Desa Sukuh dan lain-lain gejala, jelaslah konsepsi candi ini mengacu
pada tempat pemujaan nenek moyang dari masa pra pengaruh Hindu.
Munculnya ceritera-ceritera Sudamala, Garudeya, Bima Suci Sthanikaparwa
semua bertemakan ruwatan atau pelepasan dari bermacam-macam belenggu
keduniawian.
Beberapa angka tahun dan candra-sangkala yang terdapat di Candi Sukuh mengacu ke pertengahan abad 15, bersamaan dengan periode akhir Majapahit seperti candi-candi lain di lereng Gunung Lawu. Konsepsi dan bentuknya lebih dekat dengan Jawa Timur dan Bali daripada candi-candi sederhana di Jawa Tengah.
Beberapa angka tahun dan candra-sangkala yang terdapat di Candi Sukuh mengacu ke pertengahan abad 15, bersamaan dengan periode akhir Majapahit seperti candi-candi lain di lereng Gunung Lawu. Konsepsi dan bentuknya lebih dekat dengan Jawa Timur dan Bali daripada candi-candi sederhana di Jawa Tengah.
Karena
unik nenek moyang kita di lereng Lawu ini tidak luput dari berbagai
ancaman alamiah seperti gempa bumi, tanah longsor, grobotan lumut,
ganggang, rumput dan juga dari manusia yang suka mencuri, maka, upaya
pelestarian terus dilakukan. Pemugaran oleh Depdikbud dilakukan antara
1980--1983, bahkan di luar halaman candi telah dibangun Balai pelepas
lelah sambil menikmati panorama. Jalan, tempat parkir dan perturasan
telah dibangun pula sehingga keseluruhan Candi Sukuh makin menarik untuk
dikunjungi oleh siapapun.
Banyak
orang mengidentikkan candi Sukuh sebagai candi porno atau candi erotis.
Bagaimana tidak, ketika penulis studi lapangan dengan mahasiswa jurusan
Sejarah UKSW, banyak rekan-rekan berpikiran ”ngeres”, menyaksikan
pahatan (relief) vulgar yang menggambarkan secara utuh alat kelamin pria
yang sedang ereksi, berhadap-hadapan langsung dengan vagina di lantai
teras pertama gapura candi. Menurut ceritera rakyat dari mulut ke mulut
Konon, laki-laki yang ingin menguji apakah kekasihnya masih perawan atau tidak, dapat datang ke tempat ini, dengan cara meminta si wanita melompati relief tersebut. Atau suami yang ingin menguji kesetiaan istrinya, dia akan meminta sang istri melangkahi relief ini. Jika kain kebaya yang dikenakannya robek, maka dia tipe isteri setia. Tapi sebaliknya, jika kainnya hanya terlepas, sang isteri diyakini telah berselingkuh
Ceriteranya memang ada, tetapi faktanya mungkin tinggal cerita? Masih ada banyak lagi indikasi (berupa relief dan arca) yang membawa pemikiran pengunjung sampai pada kesimpulan bahwa candi ini memang candi rusuh (saru atau tabu)
Untuk memahami apa dan bagaimana keyakinan yang terdapat pada ”ritual” ataupun upacara di candi Sukuh abad XV, 600-an tahun yang silam, perlu kita simak makna-makna relief serta patung yang terdapat di candi. Bagian relief dan arca pada candi banyak merupakan symbol dan rangkaian kisah (cerita) dalam mithologi Hindu. Kisah dan symbol yang dipahatkan serta diarcakan kebanyakan berthema ”PEMBEBASAN” yang berkait erat dengan ”RUWATAN”.
Arca Candi sukuh
Ruwatan adalah salah satu adat Jawa yang tujuannya untuk membebaskan orang, komunitas atau wilayah dari ancaman bahaya. Inti acara ruwatan adalah doa memohon perlindungan pada Allah (Tuhan) dari ancaman bahaya-bahaya seperti bencana alam dll. Juga doa mohon pengampunan dosa-dosa dan kesalahan yang telah dilakukan yang bisa menyebabkan bencana. Ruwatan memiliki makna mengembalikan keadaan sebelumnya (suatu keadaan yang baik, menuju social equilibrium) Dapat dikatakan bahwa upacara ruwatan adalah ritual tolak bala atau upacara membuang sial (terjemahan dari Wikipedia berbahasa Jawa)
Patung Kura-Kura besar di depan candi merupakan symbol dari Awatara Visnu, yaitu KURMA AWATARA.
Awatara dalam agama Hindu adalah inkarnasi dari Tuhan Yang Maha Esa maupun manifestasinya. Tuhan Yang Maha Esa ataupun manifestasinya turun ke dunia, mengambil suatu bentuk dalam dunia material, guna menyelamatkan dunia dari kehancuran dan kejahatan, menegakkan dharma dan menyelamatkan orang-orang yang melaksanakan Dharma/Kebenaran
Sang Kura-Kura sebagai perwujudan dewa Visnu (pemelihara dunia) menjadi tempat tumpuan membantu para dewa memutar dan mengaduk-aduk samodra dengan gunung Mandara, untuk mendapatkan TIRTA AMERTA (air kehidupan). Barang siapa entah itu manusia, dewa, raksasa, asura meminum air kehidupan itu maka ia akan terbebas dari kematian dan mengalami hidup dalam keabadian. Keyakinan akan kehidupan kekal/abadi dikemudian hari dan terbebas dari kematian, merupakan harapan-harapan religi untuk digapai/dialami.
Bersebelahan dengan relief cerita Sudamala, ada obelisk yang menyiratkan cerita GARUDEYA. Garuda putra dewi Winata ”meruwat” ibunya dari perbudakan seorang madunya dewi Kadru. Dewi Winata menjadi budak Kadru karena kalah bertaruh tentang warna ekor kuda Uchaiswara. Dewi Kadru menang dalam bertaruh sebab dengan curang dia menyuruh anak-anaknya yang berujud ular naga berjumlah seribu menyemburkan bisa-bisanya (racun) di ekor kuda Uchaiswara sehingga warna ekor kuda berubah hitam.
Dewi Winata dapat diruwat sang Garuda dengan cara memohon “tirta amerta” (air kehidupan) kepada para dewa. (Kapanlagi.com) Sekali lagi ceritera ”Pembebasan” dengan cara ruwatan diobeliskkan pada ornamen candi Sukuh, semakin meyakinkan kita bahwa memang dahulu tempat ini difungsikan untuk ritual ruwatan.Garudeya
Konon, laki-laki yang ingin menguji apakah kekasihnya masih perawan atau tidak, dapat datang ke tempat ini, dengan cara meminta si wanita melompati relief tersebut. Atau suami yang ingin menguji kesetiaan istrinya, dia akan meminta sang istri melangkahi relief ini. Jika kain kebaya yang dikenakannya robek, maka dia tipe isteri setia. Tapi sebaliknya, jika kainnya hanya terlepas, sang isteri diyakini telah berselingkuh
Ceriteranya memang ada, tetapi faktanya mungkin tinggal cerita? Masih ada banyak lagi indikasi (berupa relief dan arca) yang membawa pemikiran pengunjung sampai pada kesimpulan bahwa candi ini memang candi rusuh (saru atau tabu)
Untuk memahami apa dan bagaimana keyakinan yang terdapat pada ”ritual” ataupun upacara di candi Sukuh abad XV, 600-an tahun yang silam, perlu kita simak makna-makna relief serta patung yang terdapat di candi. Bagian relief dan arca pada candi banyak merupakan symbol dan rangkaian kisah (cerita) dalam mithologi Hindu. Kisah dan symbol yang dipahatkan serta diarcakan kebanyakan berthema ”PEMBEBASAN” yang berkait erat dengan ”RUWATAN”.
Arca Candi sukuh
Ruwatan adalah salah satu adat Jawa yang tujuannya untuk membebaskan orang, komunitas atau wilayah dari ancaman bahaya. Inti acara ruwatan adalah doa memohon perlindungan pada Allah (Tuhan) dari ancaman bahaya-bahaya seperti bencana alam dll. Juga doa mohon pengampunan dosa-dosa dan kesalahan yang telah dilakukan yang bisa menyebabkan bencana. Ruwatan memiliki makna mengembalikan keadaan sebelumnya (suatu keadaan yang baik, menuju social equilibrium) Dapat dikatakan bahwa upacara ruwatan adalah ritual tolak bala atau upacara membuang sial (terjemahan dari Wikipedia berbahasa Jawa)
Patung Kura-Kura besar di depan candi merupakan symbol dari Awatara Visnu, yaitu KURMA AWATARA.
Awatara dalam agama Hindu adalah inkarnasi dari Tuhan Yang Maha Esa maupun manifestasinya. Tuhan Yang Maha Esa ataupun manifestasinya turun ke dunia, mengambil suatu bentuk dalam dunia material, guna menyelamatkan dunia dari kehancuran dan kejahatan, menegakkan dharma dan menyelamatkan orang-orang yang melaksanakan Dharma/Kebenaran
Sang Kura-Kura sebagai perwujudan dewa Visnu (pemelihara dunia) menjadi tempat tumpuan membantu para dewa memutar dan mengaduk-aduk samodra dengan gunung Mandara, untuk mendapatkan TIRTA AMERTA (air kehidupan). Barang siapa entah itu manusia, dewa, raksasa, asura meminum air kehidupan itu maka ia akan terbebas dari kematian dan mengalami hidup dalam keabadian. Keyakinan akan kehidupan kekal/abadi dikemudian hari dan terbebas dari kematian, merupakan harapan-harapan religi untuk digapai/dialami.
Bersebelahan dengan relief cerita Sudamala, ada obelisk yang menyiratkan cerita GARUDEYA. Garuda putra dewi Winata ”meruwat” ibunya dari perbudakan seorang madunya dewi Kadru. Dewi Winata menjadi budak Kadru karena kalah bertaruh tentang warna ekor kuda Uchaiswara. Dewi Kadru menang dalam bertaruh sebab dengan curang dia menyuruh anak-anaknya yang berujud ular naga berjumlah seribu menyemburkan bisa-bisanya (racun) di ekor kuda Uchaiswara sehingga warna ekor kuda berubah hitam.
Dewi Winata dapat diruwat sang Garuda dengan cara memohon “tirta amerta” (air kehidupan) kepada para dewa. (Kapanlagi.com) Sekali lagi ceritera ”Pembebasan” dengan cara ruwatan diobeliskkan pada ornamen candi Sukuh, semakin meyakinkan kita bahwa memang dahulu tempat ini difungsikan untuk ritual ruwatan.Garudeya
Depan
kanan candi Utama pada obelisk, terdapat relief ”Bimo Bungkus” yang
mengkisahkan ruwatan versi Mahabharata. Bima yang lahir dari rahim
Kunthi dengan Pandu membuat gempar. Mengapa, karena putra kedua Pandu
itu berujud bungkus yang sulit dibuka. Suasana kian hangat. Atas
kejadian ini Betara Guru mengutus Gajahsena (Ganesya), putranya untuk
memecahkan bungkus Bima. Usaha tersebut berhasil dan diberikannya
pakaian khusus pada Bima yang kemudian diberi nama Bratasena. Paparan
kisah Bima Bungkus pada relief ini inti ceritanya yaitu terbebasnya Bima
(jawa:Werkudara) dari ancaman kematian, karena lahir terbungkus ari-ari
yang tidak dapat pecah (terbuka). Ganeca menolong (baca: meruwat) Bima
hingga dilahirkan.
Dari relief, obelisk dan arca di candi Sukuh, banyak didapati symbol-symbol seksual. Symbol-symbol tersebut mengarahkan kita pada suatu aliran penganut paham Tantra. Menurut paham Tantra, untuk mencapai tujuan hidup orang mengucapkan mantra-mantra dan upacara-upacara gaib, dapat bersatu dengan sakti bahkan menjadi sakti itu sendiri. Tata cara pelaksanaan pemujaan sakti menurut paham Tantra, bagi orang yang bukan penganut Tantra menimbulkan kesan yang tidak baik, karena menurut ukuran masyarakat termasuk larangan atau melanggar kesopanan
Pada paham Tantrayana dikenal dua aliran, yaitu aliran kiri (niwerti) dan kanan (prawerti). Aliran kiri mempunyai anggapan bahwa untuk mencapai moksa setiap orang harus berusaha sebanyak mungkin melakukan 5 Ma (pancatattwa=Jawa Mo-Limo) yang terdiri dari (a) Matsya (makan ikan), (b) Mamsa (makan daging), (c) Mudra (makan padi-padian), (d) Maithuna (melakukan hubungan seks secara bebas). Dari sumber-sumber kesusasteraan maupun peninggalan arca yang terdapat di beberapa daerah di Indonesia termasuk di candi Sukuh, kemungkinan aliran inilah yang banyak dianut pada zaman dahulu. Sedangkan aliran kanan beranggapan bahwa untuk mencapai moksa seseorang harus melakukannya dengan Samadhi dan Yoga.(Made Suardana)
Penganut paham Tantrayana berkeyakinan untuk mencapai pembebasan dari dosa (mencapai Moksa), orang harus berusaha sebanyak mungkin melakukan 5 Ma (Jawa=Mo-Limo). Benarkah di abad XV di candi Sukuh pada masa Majapahit akhir para penganut Tantrayana menggunakannya untuk upacara Kamamahapancikam (upacara 5 Ma)? Apa hubungannya dengan keadaan masyarakat di era tersebut?
Runtuhnya Majapahit dengan sangkalan “Sirno Ilang Kertaning Bhumi” Sirno=0, Ilang=0, Kerta=4, Bhumi=1 (0041) dibalik = 1400 Caka + 78 = 1478 Masehi pada Babad Tanah Jawa, berdekatan dengan saat dibangun candi Sukuh (1437 – 1456). Sebagaimana kita pahami dan pernah alami, bahwa saat-saat runtuhnya sebuah rezim/kekuasaan/negara, sering terjadi keadaan tidak menentu. Kekacauan politik, keadaan tidak aman, perampokan dan degradasi moral serta tidak berjalannya aturan meliputi serta menekan masyarakat. Pranata sosial masa transisi seperti di atas menggerakkan kelompok-kelompok (marginal) “mengundurkan diri” atau mengasingkan diri dari situasi mencari selamat (baca: kebebasan) dan berusaha melalui caranya sendiri memperbaiki keadaan. Pencarian atau “Pembebasan” oleh kelompok marginal “Sukuh” dibawa ke dalam situasi ritual (aktivitas ritual) meruwat keadaan dan mengusahakan agar situasi sosial kembali ke equilibriumnya.
Dari relief, obelisk dan arca di candi Sukuh, banyak didapati symbol-symbol seksual. Symbol-symbol tersebut mengarahkan kita pada suatu aliran penganut paham Tantra. Menurut paham Tantra, untuk mencapai tujuan hidup orang mengucapkan mantra-mantra dan upacara-upacara gaib, dapat bersatu dengan sakti bahkan menjadi sakti itu sendiri. Tata cara pelaksanaan pemujaan sakti menurut paham Tantra, bagi orang yang bukan penganut Tantra menimbulkan kesan yang tidak baik, karena menurut ukuran masyarakat termasuk larangan atau melanggar kesopanan
Pada paham Tantrayana dikenal dua aliran, yaitu aliran kiri (niwerti) dan kanan (prawerti). Aliran kiri mempunyai anggapan bahwa untuk mencapai moksa setiap orang harus berusaha sebanyak mungkin melakukan 5 Ma (pancatattwa=Jawa Mo-Limo) yang terdiri dari (a) Matsya (makan ikan), (b) Mamsa (makan daging), (c) Mudra (makan padi-padian), (d) Maithuna (melakukan hubungan seks secara bebas). Dari sumber-sumber kesusasteraan maupun peninggalan arca yang terdapat di beberapa daerah di Indonesia termasuk di candi Sukuh, kemungkinan aliran inilah yang banyak dianut pada zaman dahulu. Sedangkan aliran kanan beranggapan bahwa untuk mencapai moksa seseorang harus melakukannya dengan Samadhi dan Yoga.(Made Suardana)
Penganut paham Tantrayana berkeyakinan untuk mencapai pembebasan dari dosa (mencapai Moksa), orang harus berusaha sebanyak mungkin melakukan 5 Ma (Jawa=Mo-Limo). Benarkah di abad XV di candi Sukuh pada masa Majapahit akhir para penganut Tantrayana menggunakannya untuk upacara Kamamahapancikam (upacara 5 Ma)? Apa hubungannya dengan keadaan masyarakat di era tersebut?
Runtuhnya Majapahit dengan sangkalan “Sirno Ilang Kertaning Bhumi” Sirno=0, Ilang=0, Kerta=4, Bhumi=1 (0041) dibalik = 1400 Caka + 78 = 1478 Masehi pada Babad Tanah Jawa, berdekatan dengan saat dibangun candi Sukuh (1437 – 1456). Sebagaimana kita pahami dan pernah alami, bahwa saat-saat runtuhnya sebuah rezim/kekuasaan/negara, sering terjadi keadaan tidak menentu. Kekacauan politik, keadaan tidak aman, perampokan dan degradasi moral serta tidak berjalannya aturan meliputi serta menekan masyarakat. Pranata sosial masa transisi seperti di atas menggerakkan kelompok-kelompok (marginal) “mengundurkan diri” atau mengasingkan diri dari situasi mencari selamat (baca: kebebasan) dan berusaha melalui caranya sendiri memperbaiki keadaan. Pencarian atau “Pembebasan” oleh kelompok marginal “Sukuh” dibawa ke dalam situasi ritual (aktivitas ritual) meruwat keadaan dan mengusahakan agar situasi sosial kembali ke equilibriumnya.
Meruwat
dalam kisah Sudamala, Penyelamatan (pembebasan) Wisnu melalui Kurma
Awatara, Kisah Garudea, sampai ruwatan versi Mahabharata dalam lakon
Bimo Bungkus adalah bentuk usaha mengembalikan situasi/keadaan seperti
sebelumnya saat Majapahit jaya gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto
raharjo !
Jika interpretasi-interpretasi di atas berkaitan dan
benar, dapat dipastikan bahwa relief dan arca serta obelisk yang
dipahatkan di candi Sukuh menuntun kita sedikit memahami keadaan sosial
religius masyarakat sekitar Sukuh pada abad XV. Namun untuk menguji
kebenarannya, kita masih memerlukan kajian yang lebih detail serta
bukti/fakta-fakta sejarah yang cukup mengenai keseluruhannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar