Berbentuk kapak lonjong dengan ukuran panjang 19,5 cm, lebar 5,7 cm dan tebal (pada bagian yang paling cembung) 3,4 cm.
Berdasarkan sertifikat batuan yang dikeluarkan GEM-AFIA Bandung Nomor 002/SER/CGA/VIII/2002 tertanggal 2 Agustus 2002 disebutkan ciri-ciri batu tersebut, seperti bentuk dan ukurannya. Beratnya 417 gram, warna hijau kekuningan mengandung urat-urat berwarna hitam, kilap resinous, bisa menarik magnet (urat hitam), struktur padat, tembus cahaya (trainslusen), berat jenis 2,69 gram/cm3, goresan putih, kekerasan empat skala mohs.
Sertifikat batuan yang ditandatangani H. Sujatmiko, Dipl. Ing (Geologist-Gemologis ITB) menyimpulkan, "Walaupun secara sifat petrofisika tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa batuan yang diperiksa adalah batuan asli alam jenis Serpentin yang mengandung urat-urat Magnetit." Dalam sertifikat itu juga disebutkan catatan, "Batuan Serpentin berwarna hijau kekuningan, tembus cahaya dan mengandung urat-urat magnetit yang menempel di magnet merupakan jenis batuan yang sangat langka. Di Indonesia, batuan jenis ini berasosiasi dengan batuan ultrabasa berumur (berusia) Pra-Tersier atau lebih tua dari 65 juta tahun."
Namun, ketika diceritakan tentang ihwal asal batu ini dari pegunungan Arab, Sujatmiko yang sudah 10 tahun belakangan menekuni penelitian batuan di Indonesia memperkirakan usianya di atas 700 juta tahun. "Usianya bisa di atas 700 juta tahun. Sebab, di Bukit Sofa dan Marwah, umur batuannya di atas 700 juta tahun".
Batu ini pada awalnya diketahui berada di tangan seorang guru Islam / aulia di Tapanuli, Sumatera Utara bernama Sultan Badullah (1675-1825) yang bergelar Sheikh Wali Jamiil Muhammad. Lalu sempat ‘hilang’ selama sekitar 177 tahun hingga kemudian muncul kembali secara misterius dan kini berada di tangan H. Mangarahon Dongoran, juga di Tapanuli.
[Sumber: Bilogizma]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar